Nabi Ismail As merupakan putra dari nabi Ibrahim as serta kakak kandung dari nabi Ishaq as. Bersama sang Ayah, Ismail as mendirikan Ka'bah.
Ismail
berusia belia ketika memulai perjalanannya menuju Allah SWT. Ibunya
membawanya dan menidurkannya di atas tanah, yaitu tempat yang sekarang
kita kenal dengan nama sumur zamzam dalam Ka'bah. Saat itu tempat yang
dihuninya sangat tandus dan belum terdapat sumur yang memancar dari
bawah kakinya. Tidak ada di sana setetes air pun.
Nabi Ibrahim
meninggalkan istrinya, Hajar, bersama anaknya yang kecil. "Wahai Ibrahim
kemana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di lembah yang kering
ini?" Kata Hajar. "Wahai Ibrahim di mana engkau akan pergi dan
membiarkan kami? Wahai Ibrahim ke mana engkau akan pergi?" Si ibu
mengulang-ulang apa yang dikatakannya. Sedangkan Nabi Ibrahim diam dan
tidak menjawab. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana perasaan
Nabi Ibrahim saat meninggalkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak
ada di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan minuman. Namun Allah SWT telah
memerintahkannya untuk tinggal di lembah itu. Dengan lapang dada Nabi
Ibrahim melaksanakan perintah Allah SWT.
Dalam kisah-kisah
israiliyat (kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani Israil) disebutkan
bahwa istri pertamanya, Sarah, tampak cemburu pada Hajar, istri
keduanya, sehingga karenanya Nabi Ibrahim harus menjauhkannya beserta
anaknya. Kami percaya bahwa kisah ini palsu dan penuh dengan kebohongan.
Jika kita mengamati kepribadian Nabi Ibrahim, maka kita mengetahui
bahwa beliau tidak akan mendapat perintah dari seorang pun selain Allah
SWT.
Kami tidak meyakini bahwa beliau terperangkap dalam perasaan
kecemburuan feminisme dan kami juga tidak percaya bahwa beliau sengaja
membangkitkan perasaan ini. Kami tidak mengira bahwa pribadi Sarah yang
mulia akan terpedaya dengan sikap egoisme. Bukankah ia sendiri yang
menikahkan Nabi Ibrahim dengan Hajar, pembantunya agar ia mendapatkan
keturunan? Ia menyadari bahwa dirinya wanita tua dan mandul. Ia sendiri
yang menikahkannya dan membantu pelaksanaannya. Ia telah memberikan dan
mengabdikan dirinya kepada seorang lelaki yang hatinya tiada dipenuhi
dengan cinta kepada siapa pun kecuali cinta kepada Penciptanya.
Allah SWT berfirman tentang Sarah dan Hajar:
"Rahmat
Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. (QS. Hud: 73)
Jadi,
masalahnya adalah bukan masalah kecemburuan antara sesama wanita, namun
ia adalah tugas yang diperintahkan oleh Allah SWT yang di dalamnya
tersembunyi hikmah-Nya. Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar
ketika Nabi Ibrahim memerintahkannya untuk membawa anaknya Ismail dan
mengikutinya. "Ke mana engkau hai Ibrahim pergi?" Mungkin pertama-tama
Hajar yang bertanya kepadanya dan mungkin juga Sarah yang bertanya. Nabi
Ibrahim hanya terdiam dan akhirnya kedua wanita itu pun juga terdiam.
Di
sana terdapat hikmah yang tersembunyi di mana Nabi Ibrahim tidak
mengetahuinya dan Allah SWT tidak menjelaskan kepadanya. la tidak
mengetahui hai itu sebagaimana mereka berdua juga tidak mengetahuinya.
Jadi kedua-duanya hanya terdiam sebagai bentuk akhlak dari istri-istri
nabi. Inilah Hajar yang sendirian bersama anaknya di lembah yang
terasing dan tandus, di mana ia tidak mengetahui rahasia di balik tempat
itu. Inilah Ismail yang memulai perjalanannya menuju Allah SWT saat
masih menyusui. Ia mengalami ujian saat masih kecil dan juga ujian bagi
ayahnya, di mana ia mendapatkan seorang anak saat sudah tua.
Nabi
Ibrahim menyadari bahwa manusia tidak memiliki sesuatu pun dalam
dirinya. Dan seseorang yang cinta kepada Allah SWT akan memberikan
dirinya kepada Allah SWT dan akan memberikan apa yang disukai oleh
dirinya kepada Allah SWT tanpa harus diminta. Itu adalah hukum cinta
yang dalam. Kami tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim mengetahui mengapa ia
harus meninggalkan Ismail dan ibunya di tempat itu. Kami tidak mengira
bahwa Allah SWT telah memberitahunya. Allah SWT hanya menurunkan
perintah dan Ibrahim hanya menaatinya. Di sinilah tampak kerasnya ujian
dan kesulitannya. Di sinilah cinta yang paling dalam diungkapkan, dan di
sinilah cinta yang murni dituangkan.
Allah SWT menguji
kekasih-Nya Ibrahim dengan suatu ujian yang sangat keras, di mana
umumnya para orang tua berat sekali melakukannya. Bukan berarti bahwa
cinta Allah SWT kepada Ibrahim dan cinta Ibrahim kepada-Nya menjadikan
Ibrahim tidak memiliki perasaan kemanusiaan. Kekuatan cintanya pada
Allah SWT justru menjadikan sebagai lautan dari perasaan kemanusiaan,
bahkan lautan yang tidak bertepi.
Perasaan beliau terhadap
Ismail lebih besar, lebih lembut, dan lebih sayang dari perasaan ayah
mana pun terhadap anaknya. Meskipun demikian, beliau rela
meninggalkannya di tempat yang tandus karena Allah SWT memerintahkan hal
tersebut. Terjadilah pergulatan dalam dirinya namun ia mampu melewati
ujiannya dan beliau memilih cinta Allah SWT daripada cinta anaknya.
Ketika
Nabi Ibrahim menampakkan kecintaan yang luar biasa dari yang seharusnya
kepada anaknya, maka Allah SWT memerintahkannya untuk menyembelihnya.
Allah SWT agar hanya Dia yang menjadi pusat cinta para nabi-Nya.
Barangsiapa yang mencintai Allah SWT, maka ia pun harus mencintai
kebenaran dan orang yang mencintai kebenaran adalah orang memenuhi
hatinya dengan cinta kepada Penciptanya semata. Ismail mewarisi
kesabaran ayahnya.
Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT sebelumnya:
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh" (QS. ash-Shaffat: 100)
Allah SWT menjawab:
"Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar." (QS. ash-Shaffat: 101)
Kesabaran
yang sama yang terdapat pada ayahnya, kebaikan yang sama, ketakwaan
yang sama, dan adab kenabian yang sama pula. Ismail mendapatkan ujian
yang pertama saat beliau kecil dan ujian itu berakhir saat Allah SWT
memancarkan zamzam dari kedua kakinya sehingga darinya ibunya minum dan
menyusuinya.
Kemudian Ismail mendapatkan ujian yang kedua dalam hidupnya saat ia menginjak masa muda:
"Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia
menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu:
Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'"
(QS. ash-Shaffat: 102)
Apa yang Anda kira terhadap jawaban si
anak? Ia tidak bertanya tentang sifat dari mimpi itu, dan ia tidak
berdebat dengan ayahnya tentang kebenaran mimpi itu, tetapi yang
dikatakannya: "Wahai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan.
"Janganlah engkau gelisah karena aku dan janganlah engkau menampakkan
kesedihan dan keluh-kesah. "Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar." Demikianlah jawaban seorang anak yang saleh terhadap
ayahnya yang saleh. Itulah puncak dari kesabaran dari seorang anak dan
tentu orang tuanya lebih harus bersabar. Itu bagaikan perlombaan di
antara keduanya untuk menguji siapa di antara mereka yang paling sabar.
Perlombaan yang tujuannya adalah meraih cinta Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut)
di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya,
dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk
bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai
di sisi Tuhannya." (QS. Maryam: 54-55)
Ismail hidup di
semenanjung Arab sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ismail memelihara
kuda dan terhibur dengannya serta memanfaatkannya untuk keperluannya.
Sedangkan air zamzam sangat membantu orang-orang yang tinggal di daerah
itu. Kemudian sebagian kafilah menetap di situ dan sebagian kabilah
tinggal di tempat itu. Nabi Ismail As tumbuh menjadi
dewasa dan menikah. Lalu ayahnya, Nabi Ibrahim, mengunjunginya dan tidak
menemukannya dalam rumah namun ia hanya mendapati istrinya.
Nabi
Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan mereka dan keadaan mereka.
Istrinya mengadukan padanya tentang kesempitan hidup dan kesulitannya.
Nabi Ibrahim berkata padanya: "Jika datang suamimu, maka perintahkan
padanya untuk mengubah gerbang pintunya."
Ketika Nabi Ismail As
datang, dan istrinya menceritakan padanya perihal kedatangan seorang
lelaki, Ismail berkata: "Itu adalah ayahku dan ia memerintahkan aku
untuk meninggalkanmu, maka kembalilah engkau pada keluargamu." Kemudian Nabi Ismail As
menikahi wanita yang kedua. Nabi Ibrahim mengunjungi istri keduanya dan
bertanya kepadanya tentang keadaannya. Lalu ia menceritakan padanya
bahwa mereka dalam keadaan baik-baik dan dikaruniai nikmat.
Nabi
Ibrahim puas terhadap istri ini dan memang ia cocok dengan anaknya.
Barangkali Nabi Ibrahim menggunakan kemampuan spiritualnya dan cahaya
yang mampu menyingkap kegaiban yang dimilikinya. Nabi Ibrahim menyiapkan
Ismail untuk mengemban tugas yang besar. Yaitu tugas yang membutuhkan
kerja keras kemanusiaan seluruhnya dan waktunya seluruhnya serta
kenyamanannya seluruhnya.
Ismail menjadi besar dan mencapai
kekuatannya. Nabi Ibrahim mendatanginya. Tibalah saat yang tepat untuk
menjelaskan hikmah Allah SWT yang telah terjadi dari perkara-perkara
yang samar. Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail: "Wahai Ismail,
sesungguhnya Allah SWT memerintahkan padaku suatu perintah" ketika
datang perintah pada Nabi Ibrahim untuk menyembelihnya, beliau
menjelaskan kepadanya persoalan itu dengan gamblang. Dan sekarang ia
hendak mengemukakan perintah lain yang sama agar ia mendapatkan
keyakinan bahwa Ismail akan membantunya. Kita di hadapan perintah yang
lebih penting daripada penyembelihan. Perintah yang tidak berkenaan
dengan pribadi nabi tetapi berkenaan dengan makhluk.
Ismail
berkata: "Laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu padamu." Nabi
Ibrahim berkata: "Apakah engkau akan membantuku?" Ismail menjawab: "Ya,
aku akan membantumu." Nabi Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah SWT
memerintahkan aku untuk membangun rumah di sini." Nabi Ibrahim
mengisyaratkan dengan tangannya dan menunjuk suatu bukit yang tinggi di
sana.
Selesailah pekerjaan itu. Perintah itu telah dilaksanakan
dengan berdirinya Baitullah yang suci. Itu adalah rumah yang pertama
kali dibangun untuk menusia di bumi. Ia adalah rumah pertama yang di
dalamnya manusia menyembah Tuhannya. Dan karena Nabi Adam adalah manusia
yang pertama turun ke bumi, maka keutamaan pembangunannya kembali
padanya. Para ulama berkata: "Sesungguhnya Nabi Adam membangunnya dan ia
melakukan thawaf di sekelilingnya seperti para malaikat yang tawaf di
sekitar arsy Allah SWT.
Nabi Adam membangun suatu kemah yang di
dalamnya ia menyembah Allah SWT. Adalah hal yang biasa bagi Nabi Adam—
sebagai seorang Nabi—untuk membangun sebuah rumah untuk menyembah Allah
SWT. Tempat itu dipenuhi dengan rahmat. Kemudian Nabi Adam meninggal dan
berlalulah abad demi abad sehingga rumah itu hilang dan tersembunyi
tempatnya. Maka Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk
membangun kedua kalinya agar rumah itu tetap berdiri sampai hari kiamat
dengan izin Allah SWT.
Nabi Ibrahim mulai membangun Ka'bah.
Ka'bah adalah sekumpulan batu yang tidak membahayakan dan tidak
memberikan manfaat. Ia tidak lebih dari sekadar batu. Meskipun demikian,
ia merupakan simbol tauhid Islam dan tempat penyucian kepada Allah SWT.
Nabi Adam memiliki tauhid yang tinggi dan Islam yang mutlak. Nabi
Ibrahim pun termasuk seorang Muslim yang tulus dan ia bukan termasuk
seorang musyrik.
Batu-batu rumah itu telah dibangun dari ketenteraman hati Nabi Adam dan kedamaian Nabi Ibrahim serta cintanya dan kesabaran Nabi Ismail As
serta ketulusannya. Oleh karena itu, ketika Anda memasuki Masjidil
Haram Anda akan merasakan suatu gelombang kedamaian yang sangat dalam.
Terkadang pada kali yang pertama engkau melihat dirimu dan tidak melihat
rumah dan pemeliharanya. Dan barangkali engkau melihat rumah pada kali
yang kedua namun engkau tidak melihat dirimu dan Tuhanmu. Ketika engkau
pergi ke haji engkau tidak akan melihat dirimu dan rumah itu yang engkau
lihat hanya pemelihara rumah itu. Ini adalah haji yang hakiki. Inilah
hikmah yang pertama dari pembangunan Ka'bah.
Allah SWT berfirman:
"Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar baitullah
bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah dari kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk dan
patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami,
utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka
al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (QS.
al-Baqarah: 127-129)
Ka'bah terdiri dari batu-batuan yang ada
di bumi di mana ia dijadikan pondasi oleh Nabi Ibrahim dan Ismail.
Sejarah menceritakan bahwa ia pernah dihancurkan lebih dari sekali
sehingga ia pun beberapa kali dibangun kembali. Ia tetap berdiri sejak
masa Nabi Ibrahim sampai hari ini. Dan ketika Rasulullah saw diutus
—sebagai bukti pengkabulan doa Nabi Ibrahim—beliau mendapat Ka'bah
dibangun terakhir kalinya, dan tenaga yang dicurahkan oleh orang-orang
yang membangunnya sangat terbatas di mana mereka tidak menggali dasarnya
sebagaimana Nabi Ibrahim menggalinya.
Dari sini kita memahami bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail As
mencurahkan tenaga keras yang tidak dapat ditandingi oleh ribuan
laki-laki. Rasullah saw telah menegaskan bahwa kalau bukan karena
kedekatan kaum dengan masa jahiliyah dan kekhawatiran orang-orang akan
menuduhnya dengan berbagai tuduhan jika beliau menghancurkannya dan
membangunkannya kembali, niscaya beliau ingin merobohkannya dan
mengembalikannya ke pondasi Nabi Ibrahim.
Sungguh kedua nabi yang
mulia itu telah mencurahkan tenaga keras dalam membangunnya. Mereka
berdua menggali pondasi karena dalamnya tanah yang di bumi. Mereka
memecahkan batu-batuan dari gunung yang cukup jauh dan dekat, lalu
setelah itu memindahkannya dan meratakannya serta membangunnya. Tentu
hal itu memerlukan tenaga keras dari beberapa pria tetapi mereka berdua
membangunnya bersama-sama.
Kita tidak mengetahui berapa banyak
waktu yang digunakan untuk membangun Ka'bah sebagaimana kita tidak
mengetahui waktu yang digunakan untuk membuat perahu Nabi Nuh. Yang
penting adalah, bahwa perahu Nabi Nuh dan Ka'bah sama-sama sebagai
tempat perlindungan manusia dan tempat yang membawa keamanan dan
kedamaian. Ka'bah adalah perahu Nabi Nuh yang tetap di atas bumi
selama-lamanya. Ia selalu menunggu orang-orang yang menginginkan
keselamatan dari kedahsyatan angin topan yang selalu mengancam setiap
saat.
Allah SWT tidak menceritakan kepada kita tentang waktu
pembangunan Ka'bah. Allah SWT hanya menceritakan perkara yang lebih
penting dan lebih bermanfaat.
Dia menceritakan tentang kesucian jiwa orang-orang yang membangunnya dan doa mereka saat membangunnya:
"Tuhan
kami, terimalah dari hand (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. " (QS. al-Baqarah: 127)
Itulah
puncak keikhlasan orang-orang yang ikhlas, ketaatan orang-orang yang
taat, ketakutan orang-orang yang takut, dan kecintaan orang-orang yang
mencintai:
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang
tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara cucu kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau." (QS. al-Baqarah: 128)
Sesungguhnya
kaum Muslim yang paling agung di muka bumi saat itu, mereka berdoa
kepada Allah SWT agar menjadikan mereka termasuk orang-orang yang
berserah diri pada-Nya. Mereka mengetahui bahwa hati manusia terletak
sangat dekat dengan ar-Rahman (Allah SWT). Mereka tidak akan mampu
menghindari tipu daya Allah SWT. Olah karena itu, mereka menampakkan
kemurnian ibadah hanya kepada Allah SWT, dan mereka membangun rumah
Allah SWT serta meminta pada-Nya agar menerima pekerjaan mereka.
Selanjutnya,
mereka meminta Islam (penyerahan diri) pada-Nya dan rahmat yang turun
pada mereka di mana mereka memohon kepada Allah SWT agar memberi mereka
keturunan dari umat Islam. Mereka ingin agar jumlah orang-orang yang
beribadah dan orang-orang yang sujud dan rukuk semakin banyak.
Sesungguhnya doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail As
menyingkap isi hati seorang mukmin. Mereka membangun rumah Allah SWT dan
pada saat yang sama mereka disibukkan dengan urusan akidah (keyakinan).
Itu mengisyaratkan bahwa rumah itu sebagai simbol dari akidah.
"Dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami,
dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 128)
Perlihatkanlah
kepada kami cara ibadah yang Engkau sukai. Perlihatkanlah kepada kami
bagaimana kami menyembah-Mu di bumi. Dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. Setelah
itu, kepedulian mereka melampaui masa yang mereka hidup di dalamnya.
Mereka berdoa kepada Allah SWT:
"Ya
Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta
menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. " (QS. al-Baqarah: 129)
Akhirnya, doa tersebut
terkabul ketika Allah SWT mengutus Muhammad bin Abdillah saw. Doa
tersebut terwujud setelah melalui masa demi masa. Selesailah pembangunan
Ka'bah dan Nabi Ibrahim menginginkan batu yang istimewa yang akan
menjadi tanda khusus di mana tawaf di sekitar Ka'bah akan dimulai
darinya. Ismail telah mencurahkan tenaga di atas kemampuan manusia
biasa.
Beliau bekerja dengan sangat antusias sebagai wujud
ketaatan terhadap perintah ayahnya. Ketika beliau kembali, Nabi Ibrahim
telah meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. "Siapakah yang
mendatangkannya (batu) padamu wahai ayahku?" Nabi Ibrahim berkata:
"Jibril as yang mendatangkannya." Selesailah pembangunan Ka'bah dan
orang- orang yang mengesakan Allah SWT serta orang-orang Muslim mulai
bertawaf di sekitarnya. Nabi Ibrahim berdiri dalam keadaan berdoa kepada
Tuhannya sama dengan doa yang dibacanya sebelumnya, yaitu agar Allah
SWT menjadikan had manusia cenderung pada tempat itu:
"Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. "(QS. Ibrahim: 37)
Karena
pengaruh doa tersebut, kaum Muslim merasakan kecintaan yang dalam untuk
mengunjungi Baitul Haram. Setiap orang yang mengunjungi Masjidil Haram
dan kembali ke negerinya ia akan merasakan kerinduan pada tempat itu.
Semakin jauh ia, semakin meningkat kerinduannya padanya. Kemudian,
datanglah musim haji pada setiap tahun, maka hati yang penuh dengan
cinta pada Baitullah akan segera melihatnya dan rasa hausnya terhadap
sumur zamzam akan segera terpuaskan.
Dan yang lebih penting dari
semua itu adalah cinta yang dalam terhadap Tuhan, Baitullah dan sumur
zamzam yaitu, Tuhan alam semesta. Allah SWT berfirman berkenaan dengan
orang-orang yang mendebat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail As:
"Ibrahim
bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. " (QS.
Ali 'Imran: 67)
Allah SWT mengabulkan doa Nabi Ibrahim dan
beliau yang pertama kali menamakan kita sebagai orang-orang Muslim.
Allah SWT berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu
Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dan dahulu. "
(QS. al-Hajj: 78)