VIVAnews - Kamar Seung-min tak berubah sejak tujuh bulan lalu. Benda-benda tergeletak di posisi yang sama, termasuk tempat tidur yang ia rapikan, hanya beberapa jam sebelum ia memutuskan untuk mati. Bocah 13 tahun ini melompat dari jendela apartemen keluarganya yang berada di lantai tujuh. Ia adalah korban bullying.
Ibunya, Lim Jee-young yang penuh duka berkali-kali membaca surat bunuh diri putranya. Di sana, ada tulisan tangan Seung-min yang mendeskripsikan bagaimana anak-anak yang lebih tua memukuli dan memalaknya, tubuhnya disundut api, kawat listrik diikat di lehernya serupa tali. Di akhir suratnya, bocah lelaki itu berkata, "Aku mencintaimu, Ibu dan Ayah. Jangan sedih atas kepergianku, aku akan menanti kalian."
Sebelum semuanya terlanjur, Lim tak tahu putranya menjadi korban bulan-bulanan di sekolah. "Pelaku bahkan datang ke rumah sebelum aku dan suamiku pulang, dan memukuli anak kami," kata dia seperti dimuat CNN. "Mereka menggunakan tongkat dan sarung tinju. Tapi Seung-min sama sekali tak pernah memberitahu kami."
Lim masih ingat saat ia dan suaminya dipanggil polisi Desember 2011 lalu. Syok menerpanya ketika ia pulang dan menjumpai sesosok jasad di luar blok apartemen yang ditutup kain putih. Itu putranya yang terbujur kaku.
"Aku menarik kain itu dan melihat anakku," kata Lim. Ia merasakan masih ada kehangatan di tubuh putranya. "Aku bersikukuh mengatakan, dia masih hidup dan berteriak memanggil dokter. Tapi mereka mengatakan padaku, ia telah tiada. Saat itulah aku mendongak dan melihat jendela apartemen terbuka," kata dia, sambil melihat ke arah jendela tempat putranya melompat dengan pandangan horor.
Saat ini, anak-anak yang mengganggu putranya telah ditindak dan dikirim ke pusat rehabilitasi remaja.
Namun, Lim yang berprofesi sebagai guru mengatakan, sekolah putranya juga punya andil kesalahan. "Sekolah berusaha menutupi. Hanya lima bulan sebelum putraku meninggal, seorang siswi di kelas yang sama bunuh diri juga akibat bullying."
Saat dikonfirmasi CNN, pihak sekolah tak mau berkomentar. Namun, berdasarkan informasi, lembaga pendidikan itu telah mengganti kepala sekolahnya.
Presiden turun tangan
Kekerasan di sekolah-sekolah di Korea Utara bahkan menjadi perhatian pucuk pimpinan negara itu. "Kekerasan di sekolah menjadi isu sosial yang penting," kata Presiden Lee Myung-bak dalam pidato di parlemen awal bulan ini. "Itu tak hanya mempengaruhi korban tapi juga remaja dan masyarakat secara keseluruhan."
Pemerintah Korsel telah bertindak untuk melawan bullying sejak Februari lalu. Ancaman skorsing membayangi remaja pelaku kekerasan di sekolah. Pemerintah bahkan menurunkan usia remaja yang bisa menghadapi ancaman pidana, dari 14 tahun menjadi 12 tahun.
Mengapa bullying marak di Korsel?
Pakar menyebut salah satu faktor utama adalah kompetisi yang ketat antar murid dan tekanan untuk menjadi yang terbaik di sekolah.
"Di sekolah, para murid tidak melihat sesama murid sebagai teman, tapi sebagai pesaing. Mereka percaya harus mengalahkan mereka untuk maju," kata Joo Mi Bae, psikolog klinis. "Bagi siswa yang pandai bisa mengatasi tekanan di sekolah, sementara yang otaknya tak cemerlang mungkin mencoba untuk mengganggu atau mengontrol orang lain. Untuk merasakan sensasi menang."
Catatan Badan Statistik Korsel, insiden kekerasan di sekolah mulai menurun. Sebaliknya, angka remaja berusia 10 sampai 19 tahun yang bunuh diri mencapai 353 pada tahun 2010. Itu berarti hampir satu remaja yang bunuh diri tiap hari.
Sekolah disarankan untuk membentuk lebih banyak tim, dalam olahraga misalnya, ketimbang menonjolkan keberhasilan individu. Sejumlah sekolah juga menyediakan layanan konseling yang disebut kelas WEE, "We, Education, Emotion" membantu para korban kekerasan untuk berani bicara.
Salah satu murid, Cho Hyun-jun (17) menggunakan layanan itu untuk membantu temannya yang menjadi korban bullying. "Korban kekerasan di sekolah menghadapi masa-masa sulit," kata dia. "Mereka merasa tak satu pun yang bisa membantu. Jadi tempat seperti ini sangat penting."