VIVAnews – Ada ujaran Deng Xiaoping yang diingat warga China: "Simpan dulu kekuatanmu, tunggulah waktunya". Diucapkan Deng tiga puluh tahun silam, kala warga China tak punya pesawat televisi, kecuali dua potong baju per orang, kata itu hari ini bergema kembali. China kini mengarungi luar angkasa, bersaing dengan Amerika Serikat dan Rusia.
China memamerkan kekuatan itu, pekan lalu. Setelah 13 hari mengorbit, 29 Juni 2012, kapsul Shenzou 9 mendarat mulus ke Bumi. Ketiga astronot keluar satu per satu dari kapsul itu, dan melempar senyum ke ratusan juta warga China yang menyimak acara itu di televisi nasional, CCTV. Di Gurun Siziwang, Kawasan otonomi Mongolia, tempat kapsul itu mendarat, warga bersuka ria.
Tak sekadar mendarat, sejumlah ada juga rekor baru: Liu Yang menjadi perempuan China pertama ke luar angkasa. Bersama dua kameradnya, dia bertahan di sana 13 hari. Jing Haipeng mencatat sejarah sebagai taikonot pertama --demikian China menyebut astronot mereka-- yang mengorbit dua kali untuk misi berbeda.
Tim itu juga sukses menggabungkan (docking) kendaraan mereka dengan stasiun temporer Tiangong-1, baik secara otomatis dan manual. Proses docking ini adalah tahap penting bagi China membangun stasiun luar angkasa permanen, yang direncanakan pada 2020.
Shenzou 9 mendarat dengan mendebarkan. Dia menghantam tanah. Wahana itu tak mirip Discovery atau Columbia buatan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) --yang sudah masuk museum. Tapi, berupa kapsul berparasut, dan mengingatkan orang pada kapsul Apollo yang digunakan NASA pada dekade 1960an hingga 1970an.
Saat mendarat, suara dentuman terdengar keras. Shenzou 9 seperti terbanting, dan di sekitarnya debu mengepul. Satu per satu, ketiga taikonot keluar dari kapsul. Mereka selamat, hanya terhuyung, dan tampak lemas. Ketiganya dipapah oleh para kru darat.
Selama mengorbit, ketiga taikonot bergerak di ruang terbatas, termasuk saat berada di stasiun temporer Tiangong 1, yang berjarak 343 km dari permukaan Bumi.
Yang muncul pertama adalah Jing Haipeng. Lalu, disusul Liu Wang. Dia baru kali ini ke luar angkasa setelah belasan tahun menjalani seleksi ketat dan latihan keras. Liu Yang, perempuan pertama China ke luar angkasa itu, tersenyum lebar begitu keluar dari kapsul.
"Tiangong 1, rumah kami di luar angkasa, adalah tempat nyaman dan menyenangkan," ujar perempuan 33 tahun itu. Dia bercerita kesannya menginap berhari-hari di stasiun luar angkasa temporer China itu.
China belum punya stasiun permanen, jadi tabung seberat 8.506 kg itu menjadi tempat persinggahan bagi para taikonot. Dibanding Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), Tiangong-1 jauh lebih kecil. Panjangnya 10,4 meter, diameter 3,35 meter.
“Istana surgawi”
Dalam bahasa Mandarin, “Tiangong” berarti “istana surgawi”. Diantar oleh roket Long March pada 29 September 2011, Tiangong-1 adalah kebanggaan China. Tempat ini sekaligus laboratorium angkasa, dan bagian penting bagi China membangun stasiun permanen.
China resmi menyatakan modul ini bagian dari ambisi mereka menjadi kekuatan baru di antariksa. Apalagi, Tiangong-1 ini dibuat sebagai reaksi atas sikap AS. Beijing membuat wahana itu, setelah AS tak beri izin bagi para taikonot memakai Stasiun Luar Angkasa Internasional.
Mengorbit sejak 1998, ISS ini dikelola bersama oleh AS, Rusia, negara-negara Eropa, Jepang, dan Kanada. Pada 2007, China pernah ingin bergabung dengan ISS. Eropa mau menerima, tapi AS menolak. Seperti diberitakan International Business Times, Washington emoh berbagi teknologi antariksa dengan China, meski Jerman bekerjasama dengan negara komunis itu.
Tak ada pernyataan resmi memang ihwal keberatan AS itu. Tapi Amerika, seperti diungkap Universe Today, enggan jika teknologi mereka digunakan China untuk kepentingan militer. Sebab, roket yang meluncurkan astronot itu juga bisa menggendong senjata nuklir. Keberatan AS juga terkait keprihatinan mereka soal HAM di China.
Bagi China, tampaknya ada juga soal harga diri. Bapak roket China, Qian Xuesen pernah diusir dari Amerika. Ironisnya, Xuesen turut membantu AS selama Perang Dunia Kedua. Dia diusir ke negaranya setelah dituduh mata-mata komunis. (Baca Qian Xuesen, Sang Raja Roket China).
Ditolak AS, China lalu menengok Rusia. Apalagi pada 1991, komunis di Rusia tumbang, dan Uni Soviet bubar. Sebagai negara pecahan Soviet, Rusia perlu duit agar tak jatuh bangkrut. Maka, Rusia pun menjual teknologi luar angkasa warisan Soviet itu kepada China. Dari soal sistem pendukung hidup, kostum khusus astronot, sampai melatih dua taikonot.
"China mengambil teknologi Rusia dan mengembangkannya. Kendaraan antariksa Shenzhou kini lebih kuat dan mumpuni ketimbang Soyuz (buatan Soviet). Stasiun luar angkasa Tiangong-1 juga mirip dengan Salyut milik Soviet, kecuali dia tak dipersenjatai kanon," demikian pengamat dari The Heritage Foundation, Dean Cheng.
Teknologi 1960-an?Tentu, China bangga. Seorang pejabat China, Gao Xiang, kepada VIVAnews yang sedang melawat Kota Zhaoqing, di provinsi Guangdong, Rabu pekan lalu, mengatakan sukses Shenzou 9 membuat mereka lebih percaya diri. “Memperkuat keyakinan sebagai bangsa bermartabat," ujar Gao.
Menurut Gao, misi antariksa kali ini mengerahkan industri nasional dalam skala besar. "Program Shenzou 9 melibatkan 900 industri, termasuk industri mesin, mekanik dan lain-lain," ujarnya. Gao adalah Direktur Divisi Informasi di Departemen Internasional Komite Pusat Partai Komunis China.
Yang merasa bungah, pastilah Partai Komunis China. Sukses Shenzou 9 membuktikan keberhasilan China. “Kami meremajakan negara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi," Gao menambahkan. Tentu media massa Tiongkok --yang semuanya dikuasai pemerintah China-- melempar pujian.
"Kini, China tidak saja hanya sebagai 'pabrik dunia' pembuat sepatu, kaus kaki, dan korek api. Bangsa ini telah percaya diri membangun teknologi luar angkasa," tulis kantor berita milik pemerintah Tiongkok, Xinhua. China Daily menulis tak kurang elok. "Misi yang Inspiratif," begitu judul tajuk rencana harian pemerintah berbahasa Inggris itu.
Pujian juga datang dari akademisi asing. "Program luar angkasa China ini mungkin masih di belakang AS, tapi pelan-pelan maju setapak demi setapak. Justru AS kini tergantung pada Rusia dalam mengirim para astronotnya ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. China kini kian dipandang jadi kekuatan utama antariksa," kata Dr. Erik Seedhouse, pakar antariksa asal Kanada, yang dikutip Xinhua.
Secara obyektif, kata Seedhouse, misi antariksa berawak dari China itu masih tahap awal, teknologinya setingkat AS dan Uni Soviet (Rusia) di dekade 1960an. Kapsul Shenzhou 9, misalnya, teknologinya belum menyamai pesawat ulang-alik milik NASA yang telah dipensiunkan.
Tapi, Seedhouse melihat China konsisten. "Program mereka berjalan tidak tergesa-gesa, namun mantap membangun teknologi dan mengembangkan kemampuannya," Seedhouse melanjutkan. Ilmuwan NASA, Mark Lee, bahkan "angkat topi" atas misi Shenzhou 9. Dia yakin China akan menyamai AS dalam teknologi antariksa. Tidak hanya itu, kualitas dan disiplin tinggi para taikonot dari Tiongkok diacungi jempol.
"Persyaratan atas kualitas fisik para astronot di China sangatlah berat, dan bisa jadi salah satu tersulit di dunia," ujar Lee, yang dikutip harian China berbahasa Inggris, The Global Times. Kata dia, itu karena China masih dalam tahap pengembangan, dan banyak ketidakpastian di antariksa
Ongkos misi luar angkasa itu pun cukup mahal. Mengutip sumber badan antariksa China, Daily Mail mengungkapkan antara 1992 hingga 2005, China menyiapkan 20 miliar yuan (sekitar Rp29,5 triliun) untuk program antariksa mereka. Dari 2005 hingga misi Shenzou 10 --direncanakan terbang akhir 2012-- China menganggarkan 19 miliar yuan (sekitar Rp28 triliun). Xinhua menulis, dalam jangka waktu lima tahun ke depan, China akan menerbangkan taikonot ke Bulan.
China kini mengembangkan sistem roket generasi baru Long March-5. Roket ini diklaim tak mengeluarkan gas buang beracun, dan tidak membuat polusi. Dia dibuat mampu menerbangkan beban hingga 25 ton ke orbit bumi.(np)