VIVAnews - Dalam buku terbarunya The Forbidden (Terlarang),
penulis novel dan pensiunan psikolog, Dr Frank Tallis, mengeksplorasi
latar belakang kerasukan setan. Novel ini diilhami pengalaman Tallis
menghadapi pasiennya dulu.
Tallis dulu didatangi pasien yang mengaku dirasuki setan saat praktik. Menurutnya, pasien ini tidak gila, tapi menderita skizofrenia. Tallis menilai pasien pria ini memiliki keyakinan tertentu.
"Pada masa saya praktik, psikolog menyebutnya 'delusi monosimtomatik'. Tapi, kini itu disebut 'kelainan delusional'. Ini terjadi ketika Anda terdengar dan terlihat masuk akal dalam seluruh aspek, tapi Anda meyakini sesuatu yang mutlak gila," ujar Tallis dalam wawancara khususnya dengan New Scientist.
Monosimtomatik merupakan penyakit atau kondisi patologis yang terjadi hanya ditandai satu gejala. Menurut Tallis, seseorang bisa kerasukan karena salah memaknai gejala tertentu sebagai akibat kehadiran setan dalam tubuhnya.
"Ketika Anda kerasukan, Anda seharusnya merasa pusing. Dan akan sering mengalami sakit kepala," ujar dosen psikologi klinis dan ilmu syaraf Institute of Psychiatry and King's College, London, Inggris.
Membuka diri terhadap asumsi yang kuat, kata dia, bisa mendatangkan gejala-gejala yang mirip kesurupan. Tallis menilai banyak orang yang meyakini hal spiritual dan magis.
Ketertarikan terhadap hal
supranatural bisa tidak berbahaya. Tapi, suatu peristiwa bisa memicu
delusi. Orang itu pun akan bertahan dengan delusinya. Bahkan, mereka
menguatkannya dengan menumpuk kesalahan penafsiran. Mereka juga akan
mencari bukti yang mendukung keyakinan bahwa dirinya dirasuki. Tallis dulu didatangi pasien yang mengaku dirasuki setan saat praktik. Menurutnya, pasien ini tidak gila, tapi menderita skizofrenia. Tallis menilai pasien pria ini memiliki keyakinan tertentu.
"Pada masa saya praktik, psikolog menyebutnya 'delusi monosimtomatik'. Tapi, kini itu disebut 'kelainan delusional'. Ini terjadi ketika Anda terdengar dan terlihat masuk akal dalam seluruh aspek, tapi Anda meyakini sesuatu yang mutlak gila," ujar Tallis dalam wawancara khususnya dengan New Scientist.
Monosimtomatik merupakan penyakit atau kondisi patologis yang terjadi hanya ditandai satu gejala. Menurut Tallis, seseorang bisa kerasukan karena salah memaknai gejala tertentu sebagai akibat kehadiran setan dalam tubuhnya.
"Ketika Anda kerasukan, Anda seharusnya merasa pusing. Dan akan sering mengalami sakit kepala," ujar dosen psikologi klinis dan ilmu syaraf Institute of Psychiatry and King's College, London, Inggris.
Membuka diri terhadap asumsi yang kuat, kata dia, bisa mendatangkan gejala-gejala yang mirip kesurupan. Tallis menilai banyak orang yang meyakini hal spiritual dan magis.
"Dalam kasus pasien saya, dia ingin tahu nama setan yang merasuki tubuhnya. Dia lantas menggunakan papan Ouija (papan yang diyakini bisa memanggil setan). Perilaku ini menunjukkan dia bersedia mencari jalan untuk makin meyakini kondisinya. Ini menunjukkan cara otak bekerja. Kecenderungan alamiah kita itu mencari penyebab," urainya.
Secara teori, seseorang bisa terserang delusi apabila dalam kondisi memungkinkan. Setiap orang bisa mengalami delusi dalam hidupnya. Seseorang bisa meyakini terserang penyakit parah tanpa ada bukti penyebabnya.
Banyak orang khawatir mengira dirinya terserang penyakit tanpa alasan. Ini malah membuat timbul gejala dan bisa terus berkembang. Selanjutnya, mereka akan mencari bukti yang mendukung keyakinannya.
Tallis memberi contoh delusi bisa terjadi ketika cemburu pada pasangan. Obsesi yang besar mengungkap ketidaksetiaan ini sering terjadi dan menghasilkan perilaku yang di luar dugaan.
"Jatuh cinta itu seperti delusi monosimtomatik. Kendati Anda seorang yang sangat rasional, Anda bisa melakukan berbagai perilaku irasional. Ini karena Anda terpaku pada individu tertentu," ujar penulis lebih dari 30 karya ilmiah di jurnal internasional ini.
Delusi ini bisa ditangani dengan banyak meminum obat-obatan yang diresepkan dokter. Tapi, kondisi ini dipandang tidak bisa disembuhkan. Tallis menjelaskan sekarang segala bentuk penyakit gangguan jiwa banyak yang dirawat dengan terapi kognitif behavioral.
"Anda menanamkan semacam sikap ilmiah pada pasien. Terapi ini mengarahkan mereka agar mau menguji keyakinannya. Ini bisa menjadi perkembangan terbaru yang paling penting dalam terapi gangguan jiwa," ujar pria yang menerima penghargaan sebagai penulis dari Dewan Kesenian Inggris pada 1999 ini.
sumber:viva.co.id